Minggu, 19 September 2010

Baju Besi Ali r.a

Setelah menunaikan suatu peperangan. Pada suatu waktu, Kkhalifah Ali r.a meletakkan baju perangnya disamping rumah. Ia bermaksud membersihkan dan menyikat baju perang itu sebelum disimpan. Putranya, Hasan melihat itu dan ingin membantunya, namun Ali r.a ingin melakukannya sendiri.

Namun sejurus kemudian, belum sempat Ali r.a membersihkan baju perangnya,  baju itu tiba-tiba lenyap. Dengan keherenan Ali r.a menanyakan kepada para anggota keluarganya, barang kali melihat baju perang itu. Seluruh anggota keluarga merasa tidak memindahkan. Dan mereka semua merasa heran.

Beberapa hari kemudian, Ali r.a melihat baju perangnya berada di Pasar di tangan seorang yahudi. Maka ia pun menanyakannya. Si yahudi bersikeras bahwa baju perang itu miliknya. Sementara Ali r.a merasa yakin bahwa baju itu adalah miliknya. Maka, Ali r.a mengadukan persoalan ini kepada qadhi. Beberapa waktu kemudian digelarlah pengadilan. Duduk sebagai terdakwa si yahudi miskin. Dan khalifah Ali r.a sebagai penuntut.

Si yahudi hadir di Pengadilan dengan perasaan was-was. Di dalam hatinya ia membatin, manalah mungkin ia memenangkan pengadilan ini. Pengadilan muslim dengan qadhi muslim berhadapan dengan kasus yang menimpa amirul mukmininnya. Sedangkan ia hanya yahudi miskin. Pastilah ia akan dihukum keras. Ia sadar dan merasa bersalah telah mencuri baju perang amirul mukminin, tetapi ia pum terpaksa karena diri dan keluarganya sangat lapar. Apakah ada keadilan di ruang pengadilan muslim?

Lamunannya terhenti ketika qadhi kurus masuk ruang pengadilan. Namun, para pagawai dan masyarakat yang hadir di persidangan tampak menghormatinya.

Sejurus kemudian qadhi membuka sidang. “Wahai khalifah apa tuntutan anda kepada terdakwa?” tanyanya tegas.

Khalifah Ali r.a pun menceritakan perihal hilangnya baju perang miliknya.

“Wahai khalifah apakah engkau dapat membuktikan kalau baju perang yang ada di tangan terdakwa itu adalah milik engkau?” tanya qadhi.

Ali r.a tersentak dengan pertanyaan qadhi. Ia termenung dan merasa sulit membuktikan. Kemudian ia berkata, “Aku tak mampu membuktikannya wahai qadhi yang bijak. Namun, anakku Hasan mengetahui bahwa baju perang itu milikku dan hilang saat aku akan membersihkannya.”

Namun sang qadhi menolak saksi dari pihak keluarga. Karena Ali r.a tak mampu membuktikannya, maka akhirnya sang qadhi memutuskan bahwa perkara itu dimenangkan oleh si yahudi.

Seperti halilintar di tengah hari bolong, si yahudi tersentak kaget dengan keputusan qadhi kurus berwibawa. Sungguh ia tidak menyangka bahwa ia yang akan menang. Padahal, sesungguhnya dirinyalah yang mencuri baju perang itu. Apalagi ini adalah pengadilan muslim. Akhirnya, ia mendekati khalifah Ali r.a

“Wahai khalifah, sesungguhnya baju ini milikmu.” Katanya. “Ambillah kembali. Aku sungguh terharu dengan pengadilan ini. Meski aku hanya seorang yahudi miskin dan engkau adalah amirul mukminin. Ternyata pengadilan muslim memenangkan saya. Sungguh, ini adalah pengadilan yang sangat luar biasa. Dan sungguh, Islam yang mulia tidak memandang jabatan di dalam peradilan,” lanjutnya. “Wahai khalifah Ali,” katanya “mulai detik ini aku akan memeluk Islam dan ingin menjadi muslim yang baik,” katanya mantap sambil menyodorkan baju perang Ali.

Khalifah Ali r.a tertegun sejenak, “Wahai fulan, ambilah baju perang itu untukmu. Aku hadiahkan kepadamu. Aku gembira dengan keislamanmu.” Kata Ali r.a bersemangat. Mereka pulang dari ruang peradilan dengan gembira.

Keadilan adalah magnet yang dapat menundukkan nurani kemanusiaan.

Referensi:
Mulyanto, Dr. Kisah-kisah teladan untuk keluarga. Jakarta: Gema Insani Press, 2004